Penyelenggara dan Pendukung Community Center surabaya
Yayasan Unilever Indonesia bekerjasama dengan Tim Penggerak PKK Kota Surabaya dan didukung oleh Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya serta LSM Wehasta
5 Pilar Program Community Centre Surabaya
5 Pilar tersebut diantaranya Lingkungan, Ekonomi, Komunikasi, Sanitasi dan Nutrisi.
Focus Group Discussion
Focus Group Discussion sistem bank sampah di wilayah Community Centre Surabaya, oleh Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya.
Workshop IT dan Penulisan Kreatif
Seorang ibu anggota kelompok kerja pilar komunikasi saat “Workshop IT dan Penulisan Kreatif” di Ruang Pertemuan Kampoeng Ilmu Surabaya, 22 Oktober 2011.
Sabtu, 31 Januari 2015
Sabtu, 10 Januari 2015
Minggu, 17 Agustus 2014
Senin, 23 Juni 2014
Bank Sampah Kawanku
Pada hari Minggu 22 Juni 2014 ada aktivitas mencolok di Bank Sampah Kawanku. Ibu-ibu dan warga sedang melakukan penimbangan sampah. Yuk kita liat sekilas aktifitas mereka lewat foto.
Rabu, 29 Agustus 2012
Surabaya Dilanda "Demam" Bank Sampah
“Demam” ini disebabkan oleh “virus” yang penyebarannya sangat cepat. Ditandai gejala omset meningkat dan menurunnya volume sampah. Jika “demam” berlanjut, segera hubungi fasilitator setempat agar ditangani menggunakan “Sistem Bank Sampah”
Bak jamur di musim hujan. Program Bank Sampah makin digemari oleh warga Surabaya. Pasca dilakukan Sosialisasi Program Lingkungan dan Bank Sampah 2012 sekitar April lalu, hingga pertengahan tahun ini, telah terbentuk puluhan bank sampah baru di Surabaya.
Bahkan, jumlah bank sampah tersebut, niscaya akan terus bertambah. Mengingat, beberapa perusahaan dan instansi di Surabaya juga memiliki program bank sampah, sebagai bagian dari kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) nya.
Hal ini tidak terlepas dari inisiasi Yayasan Unilever Indonesia (YUI), yang pada 2011 lalu menggagas Program Community Centre. Program kerjasama YUI dengan Tim Penggerak PKK Kota Surabaya dan didukung oleh LSM Wehasta serta Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya tersebut, menjadikan sistem bank sampah sebagai “pintu masuk” program.
Capaian dan keberhasilan program bank sampah di 10 wilayah percontohan Program Community Centre, sepertinya mampu “menggelitik” wilayah lain di Surabaya untuk mengembangkan program serupa.
Lalu, apa menariknya program bank sampah, hingga begitu digemari ? Ya, salah satu alternatif solusi penanganan sampah an organik ini, telah terbukti manfaatnya. Tidak hanya dampak signifikannya bagi reduksi sampah, namun manfaat ekonomisnya yang nyata.
Sebagai contoh, dari sekian bank sampah di wilayah Community Centre misalnya. Selama kurun waktu sekitar setahun berjalan, dari sedikitnya 100 nasabah mereka mampu mereduksi + 6 ton sampah an organik dan meraup omset sedikitnya Rp 6 juta ! Hal ini tidak berlebihan, manakala tiap bulannya mereka mampu mereduksi sedikitnya 500 kg sampah an organik dengan hasil penjualan + Rp 500 ribu.
Seperti pada Bank Sampah Manyar Mandiri. Bank sampah berlokasi di RW 3, Kelurahan Manyar Sabrangan, Kecamatan Mulyorejo itu, hingga Agustus 2012, telah memiliki 214 nasabah. Sesuai kesepakatan, pembagian uang tabungan sampah akan dilakukan menjelang Lebaran. “Belum genap setahun, total hasil penjualan sampah di Manyar Mandiri, ada sekitar 19 juta rupiah”, ujar Puji, Fasilitator Kelurahan Manyar Sabrangan.
Dyah Katarina, selaku Ketua Tim Penggerak PKK Kota Surabaya menyampaikan, “Sistem bank sampah merupakan salah satu cara menangani sampah an organik, yang mudah dilakukan dan memberi keuntungan bagi warga. Hasilnya pun nyata, yaitu berkurangnya volume sampah dan menambah saldo tabungan warga”.
Nah, dengan merebaknya “virus” bank sampah di Surabaya, bagaimana cara penanganannya ? Hal ini harus ditangani dengan baik, agar keberlangsungan program tetap terjaga. Beruntungnya, di Surabaya telah terbentuk bank sampah percontohan di wilayah Community Centre. Bank sampah di wilayah tersebut, menerapkan yang namanya “sistem bank sampah”. Inilah “resep mujarab”, sehingga mereka sukses meraup omset dan mereduksi sampah dari rumah tangga hingga kini.
Sistem Bank Sampah inilah yang menjadi standarisasi atau konsep dasar pengembangan Program Bank Sampah. Seperti yang diutarakan Wihartuti Dwi Rahayu, selaku Ketua Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya. “Banyaknya bank sampah, berkontribusi untuk mereduksi jumlah sampah yang dibuang ke LPA (Lahan Pembuangan Akhir, Red). Yang penting, secara sistem, bisa berjalan secara seragam”, ujar wanita yang akrab dipanggil Bu Agus itu.
Menurutnya, makin banyak pihak yang mengembangkan Program Bank Sampah adalah hal yang bagus. Ia berharap, program tersebut bisa disinergikan dengan Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya. Hal ini akan memudahkan fasilitator melakukan pendampingan serta monitoring dan evaluasi bank sampah yang ada di Surabaya.
Nah, jika saja “virus” bank sampah sudah menyebar ke seluruh wilayah Surabaya, bisa dibayangkan berapa banyak reduksi sampah juga nilai ekonomis yang dihasilkan ?
Bak jamur di musim hujan. Program Bank Sampah makin digemari oleh warga Surabaya. Pasca dilakukan Sosialisasi Program Lingkungan dan Bank Sampah 2012 sekitar April lalu, hingga pertengahan tahun ini, telah terbentuk puluhan bank sampah baru di Surabaya.
Bahkan, jumlah bank sampah tersebut, niscaya akan terus bertambah. Mengingat, beberapa perusahaan dan instansi di Surabaya juga memiliki program bank sampah, sebagai bagian dari kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility) nya.
Hal ini tidak terlepas dari inisiasi Yayasan Unilever Indonesia (YUI), yang pada 2011 lalu menggagas Program Community Centre. Program kerjasama YUI dengan Tim Penggerak PKK Kota Surabaya dan didukung oleh LSM Wehasta serta Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya tersebut, menjadikan sistem bank sampah sebagai “pintu masuk” program.
Capaian dan keberhasilan program bank sampah di 10 wilayah percontohan Program Community Centre, sepertinya mampu “menggelitik” wilayah lain di Surabaya untuk mengembangkan program serupa.
Lalu, apa menariknya program bank sampah, hingga begitu digemari ? Ya, salah satu alternatif solusi penanganan sampah an organik ini, telah terbukti manfaatnya. Tidak hanya dampak signifikannya bagi reduksi sampah, namun manfaat ekonomisnya yang nyata.
Sebagai contoh, dari sekian bank sampah di wilayah Community Centre misalnya. Selama kurun waktu sekitar setahun berjalan, dari sedikitnya 100 nasabah mereka mampu mereduksi + 6 ton sampah an organik dan meraup omset sedikitnya Rp 6 juta ! Hal ini tidak berlebihan, manakala tiap bulannya mereka mampu mereduksi sedikitnya 500 kg sampah an organik dengan hasil penjualan + Rp 500 ribu.
Seperti pada Bank Sampah Manyar Mandiri. Bank sampah berlokasi di RW 3, Kelurahan Manyar Sabrangan, Kecamatan Mulyorejo itu, hingga Agustus 2012, telah memiliki 214 nasabah. Sesuai kesepakatan, pembagian uang tabungan sampah akan dilakukan menjelang Lebaran. “Belum genap setahun, total hasil penjualan sampah di Manyar Mandiri, ada sekitar 19 juta rupiah”, ujar Puji, Fasilitator Kelurahan Manyar Sabrangan.
Dyah Katarina, selaku Ketua Tim Penggerak PKK Kota Surabaya menyampaikan, “Sistem bank sampah merupakan salah satu cara menangani sampah an organik, yang mudah dilakukan dan memberi keuntungan bagi warga. Hasilnya pun nyata, yaitu berkurangnya volume sampah dan menambah saldo tabungan warga”.
Nah, dengan merebaknya “virus” bank sampah di Surabaya, bagaimana cara penanganannya ? Hal ini harus ditangani dengan baik, agar keberlangsungan program tetap terjaga. Beruntungnya, di Surabaya telah terbentuk bank sampah percontohan di wilayah Community Centre. Bank sampah di wilayah tersebut, menerapkan yang namanya “sistem bank sampah”. Inilah “resep mujarab”, sehingga mereka sukses meraup omset dan mereduksi sampah dari rumah tangga hingga kini.
Sistem Bank Sampah inilah yang menjadi standarisasi atau konsep dasar pengembangan Program Bank Sampah. Seperti yang diutarakan Wihartuti Dwi Rahayu, selaku Ketua Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya. “Banyaknya bank sampah, berkontribusi untuk mereduksi jumlah sampah yang dibuang ke LPA (Lahan Pembuangan Akhir, Red). Yang penting, secara sistem, bisa berjalan secara seragam”, ujar wanita yang akrab dipanggil Bu Agus itu.
Menurutnya, makin banyak pihak yang mengembangkan Program Bank Sampah adalah hal yang bagus. Ia berharap, program tersebut bisa disinergikan dengan Paguyuban Fasilitator Lingkungan Kota Surabaya. Hal ini akan memudahkan fasilitator melakukan pendampingan serta monitoring dan evaluasi bank sampah yang ada di Surabaya.
Nah, jika saja “virus” bank sampah sudah menyebar ke seluruh wilayah Surabaya, bisa dibayangkan berapa banyak reduksi sampah juga nilai ekonomis yang dihasilkan ?
Senin, 30 Juli 2012
“MITOS” Bank Sampah vs “SISTEM” Bank Sampah
Sebelum “sang
primadona” ditemukan dan disambut sorak sorai di atas “panggungnya” seperti
saat ini, Ia telah melalui beragam dinamika (sebut saja : proses pencarian
bentuk).
Ketika “sistem
bank sampah”, sebagai “formula” baru dapat berjalan selaras dengan kebutuhan
dan memberi nilai tambah ekonomis bagi masyarakat pelaku bank sampah, budaya
“Membuang Sampah Sembarangan” pun sendirinya akan usang oleh jaman. Ia
tergantikan oleh jargon “Sampah Jika Diolah, Akan Mendatangkan Berkah”.
Namun
demikian, Sistem
Bank Sampah masih harus dihadapkan dengan beragam “Mitos” Bank Sampah yang
kerap dijumpai di masyarakat. Berikut adalah beberapa "mitos" tentang bank sampah, yang niscaya
dapat terpatahkan oleh “Sistem” Bank Sampah.
***
1.
Bank Sampah adalah
“bangunan” tempat penampungan sampah terpilah.
Hal ini tidak sepenuhnya benar. Ini
adalah “Sistem Bank Sampah”, bukan sekedar “Bank Sampah” yang dipahami sebagai
bangunan fisik.
Adanya bangunan sifatnya hanya mendukung.
Jadi bukan berarti jika tidak memiliki bangunan, maka sistem bank sampah tidak
bisa dijalankan. Sekali lagi, ini adalah “sistem”. Niscaya bisa berjalan meski
tidak memilliki bangunan khusus untuk bank sampah.
Kuncinya adalah, dalam sistem bank
sampah, warga (nasabah) telah melakukan pemilahan sampah an organik menurut
jenisnya sejak dari rumah.
Ini penting, untuk memberi kemudahan
(mensiasati) tidak adanya bangunan (tempat) penampungan sampah terpilah,
diantaranya :
a. Setiap selesai sampah ditimbang
sesuai jenis, pada proses pengepakan/pengemasan sampah terpilah dari seluruh
nasabah, pengurus tinggal memasukkannya pada glangsing besar dan pengepul
tinggal mengangkut saja. Akan beda kondisinya jika sampah tidak terpilah sejak
dari rumah, akan memakan tempat dan waktu, sehingga sampah akan bertumpuk dalam
waktu relatif lebih lama.
b. Tidak adanya tempat
penampungan (bangunan fisik) juga terpecahkan oleh adanya pengepul dengan
jadwal pengambilan rutin dan terjadwal. Sehingga, lebih cepat sampah terangkut,
lebih baik.
Dengan begini, “mitos” bahwa program
bank sampah bisa berjalan jika ada tempat (bangunan fisik) penampungan sampah
pun, terpatahkan!
2.
Bank Sampah baru bisa berjalan
jika ada lahan kosong yang luas
Ini juga “mitos” yang pemahamannya mirip
dengan anggapan bahwa program bank sampah membutuhkan “bangunan fisik” sebagai
bank sampah.
Nyatanya, di beberapa wilayah (di gang
sempit sekalipun), bisa menerapkan “sistem bank sampah”. Solusinya yaitu dengan
menutup gang sementara (hanya dalam hitungan jam saja), selama proses bank
sampah berjalan.
Hal ini sangat memungkinkan, mengingat
proses bank sampah kebanyakan dilakukan hanya dua kali dalam sebulan (2 minggu
sekali). Dalam hitungan jam, jika sampah sudah terpilah sejak dari rumah, maka
makin cepat pula sampah dapat terangkut oleh pengepul. Sampah tidak akan menumpuk
terlalu lama.
Dengan begini, “mitos” bahwa program
bank sampah bisa berjalan jika ada lahan kosong yang luas pun, terpatahkan!
3.
Masyarakat akan kesulitan atau
“malas” memilah sampah sesuai jenis sejak dari rumah.
Awalnya, hal ini (memilah sampah) sepertinya
hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki pemahaman, bahwa sampah dapat
diolah jika dipilah, sehingga tidak mencemari llingkungan.
Adanya sistem bank sampah, masyarakat
niscaya mendapat “dorongan” lebih untuk memilah sampah sejak dari rumah. Karena
hasil (Rp) penjualan sampah akan dikembalikan pada “si pemilik sampah”, dalam
bentuk tabungan.
Niscaya, nilai ekonomis yang didapat
oleh “si pemilik sampah”, sebanding dengan upaya yang “hanya” semudah
memasukkan sampah an organik ke wadah yang disediakan di tiap rumah. Daripada
dibuang, lebih baik diolah agar jadi uang, bukan?
Dengan begini, “mitos” bahwa masyarakat
akan kesulitan atau “malas” memilah sampah sesuai jenis sejak dari rumah pun,
terpatahkan!
4.
Menjadi pengurus Bank Sampah
adalah hal yang merepotkan
Anggapan demikian akan muncul, karena
Anda belum mencoba menerapkan sistem bank sampah. Sebelum ada sistem bank
sampah, masyarakat hanya mengumpulkan sampah an organik dalam kondisi tercampur.
Sehingga memberatkan pengurus untuk urusan memilah sampah seluruh warga.
Di sistem bank sampah, nasabah membawa
sampah sudah dalam kondisi terpilah (disendirikan menurut jenisnya). Niscaya,
akan menyederhanakan tugas pengurus dari segi waktu dan tenaga. Terlebih, ada
buku administrasi yang memudahkan pengurus mendata sampah yang ditabung.
“Mitos” bahwa, menjadi pengurus Bank
Sampah adalah hal yang merepotkan pun, terpatahkan!
5.
Administrasi Sistem Bank
Sampah sulit dipahami dan dijalankan
Sistem Bank Sampah menggunakan 3 macam
buku, yaitu Buku Tabungan Nasabah, Buku Besar dan Buku Register. Ketiganya
adalah bagian dari “Sistem”.
Buku Tabungan, bentuk dan isinya sama
dengan bank pada umumnya, plus catatan jenis sampah apa saja yang dibawa
nasabah ketika menabung. Jika Anda pernah menabung di bank, niscaya Anda akan
dengan mudah mengisi Buku Tabungan Bank Sampah. Sedangkan pengisian Buku Besar,
adalah tinggal memindahkan data di Buku Tabungan seluruh nasabah. Buku
Register, hanyalah buku yang berisi data seluruh nasabah (Nama, Alamat, Nomor
Induk, Jumlah Orang Tiap KK).
Itu saja, mudah bukan? Justru, adanya
bentuk administrasi semacam ini, niscaya dapat menjaga kepercayaan antara nasabah
dan pengurus.
Jadi, “mitos” bahwa, administrasi
Sistem Bank Sampah sulit dipahami dan dijalankan pun, terpatahkan!
6.
Ada kekhawatiran jika sampah
sudah terkumpul, lalu tidak ada yang mengambil
Pengepul sampah kering, niscaya tetap
ada, terlepas ada atau tidak sistem bank sampah. Karena jual beli sampah,
adalah “ladang bisnis” yang menguntungkan.
Menariknya sistem bank sampah, Ia
tidak hanya memberi manfaat bagi nasabah, namun juga “keuntungan berlipat” bagi
pengepul. Mengapa?
Karena dengan sistem bank sampah, akan
“menyederhanakan” pekerjaan pengepul, diantaranya :
- Sampah sudah terpilah dan
sudah terkumpul (di-packing) sesuai
jenis di Bank Sampah.
- Sampah hasil pemilahan warga
relatif kondisinya lebih bersih.
- Pengepul mendapatkan sampah
terpilah secara rutin, dalam skala besar pula.
Kondisi ini, niscaya menjadi “daya
tarik” pengepul untuk mendapat kesempatan mengangkut sampah di wilayah yang
menerapkan sistem bank sampah.
Jadi “mitos” bahwa, ada kekhawatiran
jika sampah sudah terkumpul, lalu tidak ada yang mengambil pun, terpatahkan!
***
Sistem
Bank Sampah, lebih pada bagaimana
sampah dikelola melalui alur yang sistematis. Mulai jejaknya dari hulu sampai
hilir, hingga kemanfaatannya bagi masyarakat, lingkungan dan dampak sosialnya.
Karena ini sebuah
"sistem", niscaya bisa “beradaptasi” dan diterapkan
secara efektif di berbagai kondisi
wilayah
yang beragam sekalipun.
Sistem Bank
Sampah, juga menegaskan
bahwa, “sampah” yang selama ini kerap dipandang sebelah mata, ternyata bisa
diolah menjadi berkah.
Nyatanya, beberapa anggapan
bahwa program bank sampah sulit dijalankan, semua hanyalah “mitos” belaka. Dapat terpatahkan oleh “sistem” bank sampah.
Menurut Anda, masih ada lagi kah "mitos" tentang bank sampah yang belum terpecahkan ?
Oleh :
Fajar
Ramdhani
(Environment
Program Team-Unilever Indonesia Foundation)
Jumat, 20 Juli 2012
Menuai “Ceria” Hasil Tabungan Sampah Setahun
Sore
itu (18/07/2012), Kantor Bank Sampah “Bersih Ceria”, di RW 2 Kelurahan Bulak
Banteng, didatangi puluhan nasabahnya. Bukan lantaran ingin berdemo, namun para
nasabah yang kebanyakan ibu-ibu itu, akan menerima tabungan sampahnya yang
ditabung selama kurun waktu setahun belakangan.
Peristiwa
ini baru pertama kali terjadi di Bank Sampah Bersih Ceria, salah satu bank
sampah di wilayah Program Community Centre Surabaya. Sumringah, jelas itulah ekspresi yang terpancar di setiap raut
wajah para nasabah. Sore itu, mereka benar-benar membuktikan jargon yang kerap
mereka dengar, bahwa “Sampah Jika
Dikelola, Akan Mendatangkan Berkah”. Jerih payah nasabah selama setahun
memilah sampah sesuai jenis sejak dari rumah pun, terbayar lunas.
Seperti
diketahui, sejak menjalankan sistem bank sampah, hasil penjualan sampah di Bank
Sampah Bersih Ceria akan dikembalikan ke nasabah, setelah satu tahun sejak bank
sampah berdiri. Terhitung saat pertama kali menjual sampah pada tanggal 17 Juli
2011, begitu sistem bank sampah dijalankan di RW 2 Bulak Banteng. Hal ini
merupakan kesepakatan para nasabah.
“Waduh
dapat berapa ya, semoga cukup untuk Megengan
(budaya tasyakuran menjelang Bulan Suci Ramadhan, Red),” ujar Wayan, salah
seorang nasabah yang juga pengurus Bank Sampah Bersih Ceria. Ibu satu anak ini sudah menjadi nasabah sejak Bank Sampah Bersih
Ceria berdiri.
Sejalan
dengan Wayan, Ni G.A Made sang Manager mengamini. “Memang kebanyakan nasabah mengaku uangnya akan dipakai untuk belanja keperluan
megengan, jadi kami sebagai pengurus memilih waktu yang tepat untuk
membagikannya. Semua ini berdasarkan kesepakatan nasabah“, ujar Made.
Genap
setahun, Bank Sampah Bersih Ceria telah meraup omzet sejumlah Rp 6 juta dan memiliki
82 nasabah. Tiap bulan, rata-rata mampu mereduksi sampah an organik sekitar 500
kg. Tabungan yang diperoleh nasabah pun beragam. Menurut Made, minimal seorang
nasabah setidaknya mendapat Rp 40 ribu. Bahkan, ada juga yang meraup hingga ratusan
ribu rupiah. Wow!
Heni
Lestari, selaku pendamping Program Community Centre mengatakan, “Ibu-ibu, berapapun
yang didapat oleh nasabah, itu adalah hasil kerja keras selama satu tahun. Bisa
saja cukup, bisa juga sangat kurang. Namun yang utama disini adalah
penyelamatan lingkungan. Uang yang diperoleh, hal itu adalah bonus bagi nasabah”.
Heni
melanjutkan, yang terpenting dalam menjalankan sistem bank sampah, adalah adanya
rasa saling percaya antara nasabah dan pengurus. Dengan begitu, program bisa
berjalan dengan baik dan berkembang.
Seperti
yang dirasakan Made selama setahun menjadi Manager Bank Sampah Bersih Ceria.
Menurutnya, waktu satu tahun masih merupakan tahap pembelajaran, yang
terpenting adalah kemauan untuk mencoba dan terus belajar. Awalnya, kebanyakan
nasabah belum tahu cara memilah sampah. Tapi sekarang nasabah sudah pintar
semua.
“Nah,
sudah dapat ilmu, dapat uang tabungan dari sampah lagi. Terima kasih buat
Unilever, PKK Kota, Wehasta dan Paguyuban Fasilitator yang selama setahun ini
telah membimbing kami. Semoga Bank Sampah Bersih Ceria bisa terus eksis,
nasabah dan reduksi sampah bertambah, lingkungan juga semakin bersih”, ujar
Made penuh semangat.
Genap
setahun berjalan, nasabah Bank Sampah Bersih Ceria pun akhirnya menuai ceria.
Tetap
ceria ya!
Selasa, 17 Juli 2012
Kecil-Kecil Jadi Nasabah Bank Sampah
“Aku
bisa bermain kapan saja. Tapi saat ada penimbangan di Bank Sampah Flamboyan, aku
akan datang dan membantu Ibu”.
Mungkin kalimat tersebut yang ada di benak Raihan kala itu.
Bocah berusia 7 tahun itu, tampak
menghampiri sang Ibu yang sedang “bertugas” di bank sampah. Disaat teman-teman
sebayanya sibuk bermain, Ia malah “ikut-ikutan
sibuk” di bank sampah.
“Awalnya saya kira Ia datang ke bank
sampah untuk minta uang jajan ke
ibunya, eh ternyata Ia membawa buku
tabungan dan sampah yang sudah terpilah dari rumah”, ujar Tri Mulyono,
pendamping program bank sampah dari LSM Wehasta.
Ibunda Raihan, Elly Indrawati adalah Sekretaris
Bank Sampah Flamboyan di RW 2 Ngaglik Baru, Kelurahan Kapasari, Kecamatan
Genteng. Mungkin saja, sifat peduli lingkungan Raihan lantaran mewarisi sifat sang
ibunda yang pengurus bank sampah.
Bank Sampah Flamboyan sendiri, baru
berjalan + satu bulan belakangan. Merupakan salah satu bank sampah baru
di Program Community Centre 2012. Penjualan dilakukan 2 minggu sekali dan kini
telah memiliki 43 nasabah. Dari situ, Bank Sampah Flamboyan telah mereduksi 400
kg sampah an organik dan berhasil meraup omset Rp 379.100,-.
“Ikut sibuk” di bank sampah seperti
ini, bukan pengalaman pertama bagi bocah yang duduk di kelas 2 SDN KAPASARI
VIII ini. Setiap Bank Sampah Flamboyan buka, Ia selalu datang membawa buku
tabungan dan sampah terpilah. Bahkan, Ia juga “turut andil” membantu pengurus
mengemas sampah terpilah dari para nasabah. “Mau bantu ibu, biar rumah bersih,
kampung juga bersih, nanti uangnya bisa untuk tambahan sekolah”, akunya polos
saat ditanya alasan mengapa ikut sibuk di bank sampah.
Selama dua kali penjualan sampah, kebiasaan
Raihan, setelah menyetor sampah Ia tak lantas pulang. Dibantunya para pengurus
bank sampah, misalnya menempatkan sampah yang sudah ditimbang sesuai jenis hingga
saat sampah dijual ke pengepul.
Diakui beberapa tetangga Raihan, bocah ini memang pintar, juara kelas
pula. Saat penerimaan Rapor Kenaikan Kelas beberapa minggu lalu, Raihan mendapat
Rangking 1 di kelasnya.
Apa yang dilakukan Raihan, tampak
sederhana. Entah disadarinya atau tidak, Raihan telah menjadi bagian sebuah
pekerjaan besar dan mulia, yaitu penyelamatan lingkungan.
Tetap semangat dan ajak teman-temanmu
ya Han!
(Tri M)